Saturday 17 January 2015

Perjalanan Hati Bukan Lagi Mimpi

Hari itu--Rabu, 7 Januari 2015--tepat pukul 00.30, kami berkumpul membentuk lingkaran, menengadahkan tangan masing-masing untuk berdoa demi kelancaran pendakian kami. Bagiku ini adalah kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan karena ini adalah kali pertama aku mendaki gunung. Ya, gunung Prau, salah satu gunung dari rangkaian pegunungan Dieng, Wonosobo-Banjarnegara. Memang bukan termasuk gunung yang besar karena kalau kamu cari peta pun, tidak akan kamu temukan.

Perjalanan yang kami tempuh kuang lebih satu jam dari tempat penginapan menuju jalur masuk Prau. Kami telah menentukan jalur masuk yang kedua, yaitu dari wilayah Dieng karena jalur masuk yang pertama, di Patak Banteng, telah ditutup baru-baru ini sejak awal bulan Januari. Di jalur tersebut sedang diadakan pembersihan sampah dan reboisasi (hmm, inilah kondisi tempat wisata Indonesia, jangankan Wulandira, gunung yang asri aja masih ada sampah, hahahahaha). Sepanjang perjalanan, aku benar-benar hanya membuka handphone dan membaca surat-surat dengan cahaya hp yang memancar jelas tepat di wajahku karena memang hanya aku yang menyalakan handphone tanpa penerangan lampu dalam mobil. Entah mengapa, hari itu aku merasa sangat pasrah dengan segala takdir-Nya, yang terpikir hanya tentang apakah aku masih bisa kembali dalam keadaan utuh atau sama sekali tidak. Tuhan yang tentukan.

Kami terdiri atas empat laki-laki, empat perempuan, dan seorang guide profesional bernama pak Bagus (kalau tidak salah, aku agak sulit mengingat nama orang dalam sekali pertemuan, maaf ya Pak). Salah satu dari kami, Aulia, memiliki asma. Kondisinya akan kambuh jika dipicu oleh kelelahan dan cuaca ekstrim. Aku sangat khawatir dengannya, sudah berulang kali aku tanya tentang keputusan mendaki gunung, tapi dia selalu berusaha untuk meyakinkan kami semua bahwa dia bisa. Nah, sebelum memulai pendakian, kami terlebih dahulu mengatur posisi. Pastinya pak Bagus berada di depan, lalu Aulia, aku, Mada (dia juga sebenarnya punya asma), Syadza, Fahmi, Oci, Harri, dan Dany. Kata pak Bagus, orang yang berada di belakang haruslah orang yang paling kuat, terbukti selama perjalanan naik-turun gunung, Harri mampu membawa carrier dadakan dari pak Bagus yang isinya, tenda, sleeping bag, matras, ditambah peralatan pribadi milik dirinya.

Bismillahirrohmanirrohim, kata pertama kali yang kami ucapkan untuk pendakian hari itu. Kami baru berada di pedesaan dan harus menanjaki jalan beraspal yang cukup curam. Dalam hitungan menit, aku sudah mendengar hembusan napas yang cukup kuat dari arah depan. Aulia tersengal-sengal, namun masih bisa berjalan, hingga aku berjalan disampingnya. Tak lama kemudian, kami menghentikan sejenak perjalanan kami untuk mengambil keputusan yang menurutku cukup sulit bagi Aulia, antara tetap meneruskan pendakian dengan banyak istirahat beberapa meter, mengalihkan pendakian menuju bukit Sikunir yang tidak lebih tinggi dari gunung Prau, atau sama sekali tidak ikut. Kebanyakan dari kami memang menginginkan puncak Prau, meskipun tak masalah jika harus diganti dengan Sikunir, toh tingginya pun hanya berbeda ratusan meter dari Prau. Namun, keputusan sekarang ada di tangan Aulia. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan dia memutuskan untuk tidak ikut bersama kami mendaki gunung Prau. Tak muncul kekecewaan dari raut wajahnya, mungkin rasa kecewa itu telah kalah dengan rasa cemas dan takut akan recurrency penyakit asmanya.
Selamat jalan Aul, kami di sini mewakilimu untuk menyampaikan salammu kepada langit di atas gunung.

Perjalanan yang sebenarnya pun dimulai. Kami bisa melihat puncak Prau dalam kegelapan langit malam tanpa bintang dari pematang sawah. Ya, sawah adalah lintasan alam pertama kami sebelum akhirnya kami memasuki hutan. Benar-benar sepi yang terdengar hanya sayup-sayup angin yang berhembus di antara dedaunan. Kami harus melewati empat pos selama pendakian. Di pos pertama, kami beristirahat, minum persediaan air dan menyelonjorkan kaki sejenak. Perjalanan menanjaki gunung pun dilanjutkan. Hampir setiap dari kami menyalakan senternya masing-masing, hanya Mada yang bergantung pada cahaya orang yang berjalan di depannya, aku. Terkadang dia minta untuk diberikan penerangan saat melewati jalan yang cukup terjal, huft. Bahkan, dia masih sempat mendengarkan lagu korea melalui headset-nya, barangkali itu cara untuk mengalihkan rasa lelahnya agar asmanya tidak kambuh. Syadza, berkali-kali meminta istirahat sebelum kami tiba di pos berikutnya. Fahmi, satu-satunya orang yang telah berkali-kali mendaki gunung, hanya bergeming. Bahkan saat istirahat pun, dia masih sempat tidur, tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya selama pendakian. Oci, yang selalu berteriak agar orang yang didepannya tidak berjalan terlalu cepat. Harri, ya dia yang membawa carrier, aku hampir tak bisa mendengarnya karena kami sama-sama hampir berada di ujung barisan. Dany, dengar-dengar katanya selama pendakian dia selalu buang angin (kata Harri), hahaha. Untungnya, dia berada paling belakang, jadi siapa pula yang peduli. Aku sendiri berada di posisi kedua, di belakang pak Bagus yang seharusnya adalah posisi Aulia. Di setiap langkah pertama setelah istirahat, pak Bagus selalu mengucapkan kata Basmallah dan berdzikir selama pendakian.

Di tengah perjalanan, kami sempat istirahat dan berfoto :)
Masih di tengah perjalanan, Harri mengambil foto kami dengan pencahayaan dari senternya
Jalan yang kami lewati memang sudah tersedia, jadi kami tak memerlukan kompas. Hanya saja saat sudah hampir di atas, kami harus sangat hati-hati karena kanan-kiri jalan adalah jurang. Meskipun gelap, aku bisa melihatnya karena yang ada hanyalah kabut bukan lagi pepohonan.

Kurang lebih pukul 3.30, kami tiba di puncak pertama, kecil dan banyak semak-semak. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan ke puncak kedua dengan melewati lembah (turun lalu naik). Yap, belum sampai di atas kami buru-buru membangun dua tenda karena hujan mulai turun. Entah mengapa, aku merasa tidak ingin tidur karena memang tidak ada rasa kantuk. Kami bertiga—aku,Oci, dan Syadza—hanya berbaring, tiba-tiba terbangun dan jam sudah menunjukkan pukul 5.30. Rasa dingin yang aku rasakan setelah bangun jauh lebih menusuk dibandingkan saat pendakian. Benar-benar menggigil. Bahkan di dalam tenda pun aku masih enggan untuk bergerak, memeluk lutut untuk mengurangi luas permukaan tubuh yang terpapar dingin. Tapi, mau bagaimana lagi, aku harus sholat subuh. Kami wudhu seadanya dengan sisa persediaan air minum, itu pun masih di teras tenda. Kami sholat dengan posisi duduk karena kondisi tenda yang tidak memungkinkan untuk kami berdiri.

Aku pikir untuk apa berlama-lama di dalam tenda dan aku tidak ingin melewati kesempatan menikmati dinginnya puncak gunung. Aaaaah, udara dataran tinggi benar-benar aku rasakan di sini untuk pertama kalinya. Tak ingin menghabiskan waktu, aku, Oci, dan Harri buru-buru ke puncak kedua—puncak Prau tertinggi, 2565 mdpl. Kami bertiga berfoto ria. Akhirnya, satu persatu dari mereka yang berada di dalam tenda pun menyusul kami ke atas. Sebenarnya, aku cukup kecewa karena cuaca tak mengizinkanku melihat lautan awan dan matahari terbit. Kata guide kami, pak Bagus, yang menentukan keberhasilan seorang pendaki adalah bukan saat dia mencapai puncak, tapi saat timnya berhasil mencapai puncak bersama-sama, tak peduli seberapa lama perjalanan, yang penting adalah kekompakkan tim dan rasa saling peduli. Dan kami berhasil memperoleh itu dengan mulus hingga menginjakkan kaki di puncak tepat waktu saat seharusnya di mana matahari menampakkan dirinya. Dan ternyata saat berada di puncak kami  baru sadar bahwa tidak ada pendaki lain selain kami di hari itu.
Puncak kedua Prau, tiang itu biasa dipakai untuk mengibarkan bendera. Lihat, cuaca di atas ini memang sedang tidak bersahabat. Saat kamu berada di sana, kamu sedang berada di dalam awan.
Bersama pak Bagus (jaket biru), guide kami yang sangat berjasa




Pendakian pertama di ketinggian 2565 mdpl

Setelah puas berfoto, pak Bagus mengeluarkan perkakas masak sederhananya dan kami mengeluarkan mie instan. Pak Bagus ini handal sekali loh dalam membuat makanan khas anak gunung, biasanya kalau tidak mie instan, ya nasi yang dilumatkan menjadi bubur ditambah gula merah. Ya, pak Bagus ini adalah mantan pembina pramuka dan saat kejadian longsor di Karang Kobar, beliau menjadi salah satu tim relawan di bidang dapur umum. Adiknya—yang juga kakak kelas SMA Fahmi—juga seorang guide para pendaki pemula seperti kami.

Sekitar pukul 08.00, kami memutuskan untuk turun gunung. Kami tidak meninggalkan sampah bukan karena ini tempat wisata, tapi karena sudah sepatutnya seorang pendaki mencintai alam yang dijamahinya. Saat menuruni gunung, kami melalui jalur yang berbeda. Katanya sih, jalur ini baru dibuka dan pak Bagus pun belum pernah melewatinya. Tapi, kami tak perlu takut tersesat karena kami yakin naluri seorang guide pecinta alam yang sudah berpengalaman tak mungkin salah. Posisi penurunan gunung diubah, aku tak mau lagi berada di depan karena selalu diteriaki dari belakang, hahahaha. Jadi, sekarang posisi kedua setelah pak Bagus diisi oleh Syadza, lalu Mada, Oci, Fahmi, aku, dan dua orang dengan posisi yang tak berubah, Harri dan Dany. Enaknya turun gunung pagi-pagi dan ada di posisi belakang, bisa menikmati pemandangan, hahaha. Lucunya, setiap jalan licin dan curam Harri yang berada di belakangku selalu ingin ‘perosotan’. Bayangkan kalau dia ‘merosot’ tanpa ‘ngerem’, aku yang ada di depannya akan ikut terperosok. Kan serem. Oleh karena itu, aku selalu memintanya agar tidak ‘merosot’ dulu sampai aku berada di posisi yang agak jauh darinya. Kami tidak lagi khawatir melewati jalan yang kanan-kirinya adalah jurang karena keindahan alam yang super hijau mampu mengalihkan kekhawatiran itu, meskipun kaki terasa sakit karena harus menahan gaya tubuh saat turun. Saat hampir tiba di pedesaan, kami berjalan di antara sayuran-sayuran yang ditanam di terasering, sambil melihat penduduk yang tengah berkebun ditemani anaknya yang malah sibuk bermain sendiri. Terasa sekali tradisi Indonesia-nya, aku merasa seperti orang asing yang kembali ke motherland. Tidak jauh dari Dieng, tepatnya di Kali Bening-Banjarnegara sekitar 20 km dari Karang Kobar, memang merupakan kampung halaman bapakku dan terakhir kali aku ke sana saat kelas 6 SD.


Terasering tampak dari atas


Puncak gunung yang telah kami jamahi, tertutup awan
Bunga khas pegunungan yang aku temukan selama perjalanan pulang


Perjalanan turun gunung di pagi hari. Lihat, pemandangan di sekeliling kami dibaluti dnegan warna hijau khas pegunungan
Alhamdulillah, perjalanan kali ini sangat memberi banyak pelajaran, terutama pelajaran tentang pentingnya selalu merasa bersyukur dan tidak sombong dengan apa yang kita miliki. Karena saat kamu menjajaki kaki di atas puncak, akan banyak hal menakjubkan di mana kamu akan merasa tak lebih dari setitik debu dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Semakin banyak kamu menjelajahi dunia, semakin kamu merasa tak berdaya dengan kuasa Tuhan dan akan terucap selalu kata syukur dari mulutmu.

Memang tak sedikit rintangan yang harus kamu lalui saat mendaki. Terlebih lagi kamu harus bisa menahan egomu sendiri saat mendaki bersama tim. Jangan nafsu untuk cepat-cepat bisa sampai di puncak, tapi jangan juga terlalu banyak merepotkan teman. Artinya kamu harus benar-benar memersiapkan fisik dan mental. Aku? Sebenarnya tak banyak latihan fisik sebelum mendaki, bahkan H-2 pendakian aku baru olahraga lari keliling kampus UI. Memang tidak seberapa, tapi setidaknya itu melatih kaki ku agar tidak DOMS (Delayed Onset Muscle Soreness) saat diajak berpetualang di medan yang cukup sulit.

Ternyata bener yah kata orang, sekali kamu naik gunung, kamu akan merasa rindu dan ingin terus mencobanya lagi, meski dengan gunung yang sama atau bahkan dengan ketinggian yang lebih menantang. Suatu saat di musim kemarau, aku ingin sekali mendaki gunung Semeru, gunung Kelimutu atau gunung Lawu, gunung Merbabu juga boleh atau Rinjani mungkin? Dan ini tak boleh hanya menjadi angan, harus benar-benar terealisasi, mendaki gunung bersama orang yang paling dicintai sambil menikmati indahnya duduk berselimut bintang di tepi danau Ranu Kumbolo, merasakan hembusan angin di tengah padang savana, atau terbuai dengan kedamaian danau Segara Anak.

Aku memang pendaki pemula, tapi tak menutup kemungkinan first trip kali ini menjadi hobiku yang baru, itupun jika waktu dan finansial mengizinkanku untuk menikmati kembali penjelajahan mendaki  gunung-gunung indah di Indonesia. 

Buat kamu yang belum merasakan, cobalah! Masa mudamu tak akan sia-sia hanya karena mendaki gunung yang kata orang menyeramkan. Justru itulah, saat di mana kamu akan menemukan jati dirimu, berani dalam mengambil tindakan, dan tangguh untuk menaklukan egomu sendiri. Rasa sakit dan lelah akan terbayar dengan kepuasan batin mencapai puncak tertinggi. Karena mendaki gunung bukan hanya perjalanan fisik dan mental, tapi juga hati.

No comments:

Post a Comment