Saturday 6 April 2019

Rapuh Untuk Menjadi yang Terkuat



Saya mungkin bukan satu-satunya orang di dunia ini yang sering mengalami patah hati.
Dulu, saya pernah belajar cara menyayangi seseorang dan bagaimana rasanya dicintai.
Lalu, tak lagi kembali berbagi suka-duka dan cerita.
Berharap mendapatkan imbalan rasa yang sama kepada dia yang disuka.
Hanya itu, tidak lebih. Karena rasa suka itu berawal dari kekaguman. Biasanya seperti itu bukan?
Karena jika lebih dari itu saya pun tidak punya keberanian. Berani untuk mengungkapkan apalagi tindakan. Namanya juga perempuan.
Perasaan-perasaan itu selanjutnya hanya akan fana terkubur di dalam hati.
Saya pikir kemungkinan kecil untuk menjadi cinta sejati.

Karena (sekali lagi) saya hanyalah saya yang sering patah hati, kadang berharap lebih.

Dan sekarang saya paham, bukan ini yang Tuhan mau.
Bukan ini yang saya butuh.
Saya pikir banyak hal lain yang bisa saya lakukan.
Selain mencari-cari cinta manusia.
Kabar baiknya, saya akan tetap mencari. Mencari cara mendapatkan cita yang tertunda.
Mencarinya hingga ke angkasa.
Karena jika jatuh pun masih ditemani bintang-bintang.
Biarlah cinta itu mengikuti.
Seperti teori evolusi.
Hanya mereka yang bertahan dan pantas mendampingi.

Monday 6 April 2015

Inspiring Women

Tahukah kamu, bahwa Islam telah melahirkan banyak sosok inspiratif yang pesonanya tetap terpancar meski jasadnya telah berkalang tanah? Mereka menorehkan banyak prestasi kebaikan untuk kemaslahatan dunia maupun akhirat.

Bukan hanya kaum pria seperti Khalid bin Walid yang dijuluki “Sang Pedang Allah yang Tak Terkalahkan”, Ali bin Abu Thalib sebagai “Pintu Ilmu yang Jago Berperang”, atau Salman Al Farisi “Sang Pencari Kebenaran Sejati”, para wanita pada zaman Rosulullah SAW pun tak gentar dalam mengukir sejarah keislaman demi membela agama Allah. Siapa sajakah mereka? Penasaran? Sabar....

Pada prinspnya, hak antara pria dan wanita adalah sama di mana keduanya diciptakan dengan tidak memiliki keunggulan satu terhadap yang lain. Namun, Islam memberikan porsi perhatian yang besar dan kedudukan yang terhormat kepada wanita baik dari segi asal penciptaannya hingga dari segi hak/peran sertanya dalam berbagai bidang, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut:

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (Q.S. An-Nisaa [4]:32)

Ayat ini menjadi simbol bahwa diizinkannya bagi wanita untuk mendapatkan hak-haknya di hadapan manusia lain. Apa saja hak-hak tersebut? Hak kemanusiaan, hak ekonomi, hak sosial, dan hak konstitusi (terlalu panjang kalau dijabarkan satu-satu). Mungkin sekilas aja yah, contoh dari hak kemanusiaan adalah wanita berhak untuk hidup, mendapat kemuliaan, mendapat kesetaraan dengan pria, dan mengemukakan pendapat. Hak sosial, contohnya hak mendapatkan perlakuan baik, memilih suami, mendapatkan nafkah, mahar, dan warisan, meminta cerai (waduh!! Eits, tapi belum jatuh talak kok kalau bukan suami yang bilang kata ‘cerai’), mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.” (O.S. At-Taubah [9]:71)

Awliya’? Apa itu? Ya, awliya’ memiliki makna kerja sama dalam bantuan dan penguasaan. Intinya, wanita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk melakukan kebaikan, termasuk dalam memberikan pendapat, nasihat, atau kritik kepada penguasa (ya bisa dikatakan kepada pemerintah, semacem demo-demo gitu kali ya). Jadi, bukan hanya kaum pria, para wanita pun bisa turut andil dalam mengontrol perkembangan zaman.

Oh iya, tadi kita mau bahas wanita-wanita tangguh, berani, mandiri zaman Rosulullah SAW kan? Yaudah, langsung cuss aja yuk!

1.         Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah
Adalah wanita asal Yastrib yang sangat memuliakan Rosulullah SAW. Saat perang Uhud, Rosulullah SAW melihat seorang wanita yang sedang mengayun-ayunkan pedangnya seraya berkata, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud, kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.” Saat peperangan, Nusaibah yang tengah membawa tempat air melihat beberapa pasukan muslim yang kocar-kacir kala musuh mulai bergerak maju, sedangkan Rosulullah SAW berdiri tanpa perisai, kemudian Beliau berkata kepada salah satu dari mereka, “Berikan perisaimu kepada yang berperang.” Nusaibah pun lalu memungut perisai yang dilempar oleh lelaki tersebut dan siap melindungi Rosulullah SAW. Namun di tengah peperangan, Nusaibah mendapatkan 12 luka akibat pukulan Ibnu Qumaiah (musuh). Kemudian, Rosulullah SAW menyuruh anak Nusaibah untuk membersihkan luka ibunya, “Ibumu, ibumu...balutlah lukanya. Ya Allah jadikanlah mereka sahabatku di surga!” Masya Allah.... Karena kecintaan dan kesetiaannya kepada Rosulullah inilah, Nusaibah dijuluki sebagai Ummu Umarah, pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa raganya demi Islam.

2.         Rufaidah binti Sa’ad
Adalah perawat profesional muslim pertama sepanjang sejarah Islam. Dia belajar ilmu keperawatan saat membantu ayahnya yang berprofesi sebagai dokter. Bukan hanya terkenal sebagai perawat, dia juga merupakan seorang pemimpin dan organisator yang pandai memotivasi orang lain. Terbukti saat perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar, Rufaidah menjadi sukarelawan dan melatih sekelompok wanita untuk ikut menjadi perawat. Dia meminta izin kepada Rosulullah SAW untuk ikut di garis belakang pertempuran supaya dapat merawat mereka yang terluka dan mendirikan tenda di luar masjid Nabawi sehingga sampai saat ini berkembanglah rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang.

Wah, ternyata bukan hanya wanita-wanita tebem (read: tangguh, berani, mandiri) yang ada di zaman Rosul, di era modern pun banyak wanita muslim yang berani mengiprahkan kariernya di bidang-bidang yang anti-mainstream. Siapa sajakah mereka?

1.         Dahlia Mogahed
Satu-satunya wanita muslim berjilbab yang diangkat bekerja di Gedung Putih AS, menjadi kepercayaan sekaligus penasihat Presiden Barack Obama dalam bidang Faith-Based and Neighborhood Partnership.

2.         Prof. Samira Ibrahim Islam
Seorang ahli farmakologi sekaligus wanita muslim Arab pertama yang memegang peranan penting dalam organisasi kesehatan dunia (WHO).

3.         Anousheh Ansari
Seorang insinyur keturunan Iran, menjadi wanita muslim pertama yang pergi ke ruang angkasa pada tahun 2006 dengan penerbangan Soyuz TMA-9 dan berhasil mendarat di bumi setelah 8 hari perjalanan.

Sebenarnya itu hanyalah segelintir nama dari ratusan wanita hebat yang telah mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam bidang tertentu kepada dunia. Merasa minder? (What? Bahasa apa tuh minder? Wanita muslimah harus pede dongs!). Jangan, jangan kau ................ minder (eaa jadi nyanyi kan). Intinya sih, sebagai wanita muslim—yang hidup di era serba modern di mana setiap tahun selalu muncul isu-isu terbaru—sudah sepatutnya kita selalu meng-upgrade diri. Dengan cara apa? Seperti yang tercantum dalam Q.S. An-Nisaa ayat 32, bahwa Allah akan memberikan karunianya kepada mereka yang mau berusaha. Segala hak (tercantum di atas) yang Allah berikan, tentu harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Dari sinilah, diharapkan Islam mampu mencetak lebih banyak muslimah yang produktif di bidangnya masing-masing.

Tak heran, jika pada zaman Rosulullah SAW telah muncul sejumlah wanita yang luar biasa karena mereka tak menjadikan aturan Islam sebagai penghalang untuk bisa memiliki prestasi setara atau bahkan lebih dari kaum pria. Namun ingat, bukan berarti mereka menyimpang dari aturan, melainkan tetap pada syariat dan kodratnya sebagai wanita.

Bagaimana, semakin terpacukah untuk menjadi The Next Inspiring Woman? Cari tahulah jejak mereka yang menginspirasimu, dengarkan kata hatimu, lakukan sesuai dengan kemampuan dan caramu sendiri. Dengan begitu, orang lain pun akan melihat sisi keunikan dan keindahan dari apa yang kamu hasilkan.
www.greatthoughtstreasury.com



Saturday 17 January 2015

Perjalanan Hati Bukan Lagi Mimpi

Hari itu--Rabu, 7 Januari 2015--tepat pukul 00.30, kami berkumpul membentuk lingkaran, menengadahkan tangan masing-masing untuk berdoa demi kelancaran pendakian kami. Bagiku ini adalah kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan karena ini adalah kali pertama aku mendaki gunung. Ya, gunung Prau, salah satu gunung dari rangkaian pegunungan Dieng, Wonosobo-Banjarnegara. Memang bukan termasuk gunung yang besar karena kalau kamu cari peta pun, tidak akan kamu temukan.

Perjalanan yang kami tempuh kuang lebih satu jam dari tempat penginapan menuju jalur masuk Prau. Kami telah menentukan jalur masuk yang kedua, yaitu dari wilayah Dieng karena jalur masuk yang pertama, di Patak Banteng, telah ditutup baru-baru ini sejak awal bulan Januari. Di jalur tersebut sedang diadakan pembersihan sampah dan reboisasi (hmm, inilah kondisi tempat wisata Indonesia, jangankan Wulandira, gunung yang asri aja masih ada sampah, hahahahaha). Sepanjang perjalanan, aku benar-benar hanya membuka handphone dan membaca surat-surat dengan cahaya hp yang memancar jelas tepat di wajahku karena memang hanya aku yang menyalakan handphone tanpa penerangan lampu dalam mobil. Entah mengapa, hari itu aku merasa sangat pasrah dengan segala takdir-Nya, yang terpikir hanya tentang apakah aku masih bisa kembali dalam keadaan utuh atau sama sekali tidak. Tuhan yang tentukan.

Kami terdiri atas empat laki-laki, empat perempuan, dan seorang guide profesional bernama pak Bagus (kalau tidak salah, aku agak sulit mengingat nama orang dalam sekali pertemuan, maaf ya Pak). Salah satu dari kami, Aulia, memiliki asma. Kondisinya akan kambuh jika dipicu oleh kelelahan dan cuaca ekstrim. Aku sangat khawatir dengannya, sudah berulang kali aku tanya tentang keputusan mendaki gunung, tapi dia selalu berusaha untuk meyakinkan kami semua bahwa dia bisa. Nah, sebelum memulai pendakian, kami terlebih dahulu mengatur posisi. Pastinya pak Bagus berada di depan, lalu Aulia, aku, Mada (dia juga sebenarnya punya asma), Syadza, Fahmi, Oci, Harri, dan Dany. Kata pak Bagus, orang yang berada di belakang haruslah orang yang paling kuat, terbukti selama perjalanan naik-turun gunung, Harri mampu membawa carrier dadakan dari pak Bagus yang isinya, tenda, sleeping bag, matras, ditambah peralatan pribadi milik dirinya.

Bismillahirrohmanirrohim, kata pertama kali yang kami ucapkan untuk pendakian hari itu. Kami baru berada di pedesaan dan harus menanjaki jalan beraspal yang cukup curam. Dalam hitungan menit, aku sudah mendengar hembusan napas yang cukup kuat dari arah depan. Aulia tersengal-sengal, namun masih bisa berjalan, hingga aku berjalan disampingnya. Tak lama kemudian, kami menghentikan sejenak perjalanan kami untuk mengambil keputusan yang menurutku cukup sulit bagi Aulia, antara tetap meneruskan pendakian dengan banyak istirahat beberapa meter, mengalihkan pendakian menuju bukit Sikunir yang tidak lebih tinggi dari gunung Prau, atau sama sekali tidak ikut. Kebanyakan dari kami memang menginginkan puncak Prau, meskipun tak masalah jika harus diganti dengan Sikunir, toh tingginya pun hanya berbeda ratusan meter dari Prau. Namun, keputusan sekarang ada di tangan Aulia. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan dia memutuskan untuk tidak ikut bersama kami mendaki gunung Prau. Tak muncul kekecewaan dari raut wajahnya, mungkin rasa kecewa itu telah kalah dengan rasa cemas dan takut akan recurrency penyakit asmanya.
Selamat jalan Aul, kami di sini mewakilimu untuk menyampaikan salammu kepada langit di atas gunung.

Perjalanan yang sebenarnya pun dimulai. Kami bisa melihat puncak Prau dalam kegelapan langit malam tanpa bintang dari pematang sawah. Ya, sawah adalah lintasan alam pertama kami sebelum akhirnya kami memasuki hutan. Benar-benar sepi yang terdengar hanya sayup-sayup angin yang berhembus di antara dedaunan. Kami harus melewati empat pos selama pendakian. Di pos pertama, kami beristirahat, minum persediaan air dan menyelonjorkan kaki sejenak. Perjalanan menanjaki gunung pun dilanjutkan. Hampir setiap dari kami menyalakan senternya masing-masing, hanya Mada yang bergantung pada cahaya orang yang berjalan di depannya, aku. Terkadang dia minta untuk diberikan penerangan saat melewati jalan yang cukup terjal, huft. Bahkan, dia masih sempat mendengarkan lagu korea melalui headset-nya, barangkali itu cara untuk mengalihkan rasa lelahnya agar asmanya tidak kambuh. Syadza, berkali-kali meminta istirahat sebelum kami tiba di pos berikutnya. Fahmi, satu-satunya orang yang telah berkali-kali mendaki gunung, hanya bergeming. Bahkan saat istirahat pun, dia masih sempat tidur, tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya selama pendakian. Oci, yang selalu berteriak agar orang yang didepannya tidak berjalan terlalu cepat. Harri, ya dia yang membawa carrier, aku hampir tak bisa mendengarnya karena kami sama-sama hampir berada di ujung barisan. Dany, dengar-dengar katanya selama pendakian dia selalu buang angin (kata Harri), hahaha. Untungnya, dia berada paling belakang, jadi siapa pula yang peduli. Aku sendiri berada di posisi kedua, di belakang pak Bagus yang seharusnya adalah posisi Aulia. Di setiap langkah pertama setelah istirahat, pak Bagus selalu mengucapkan kata Basmallah dan berdzikir selama pendakian.

Di tengah perjalanan, kami sempat istirahat dan berfoto :)
Masih di tengah perjalanan, Harri mengambil foto kami dengan pencahayaan dari senternya
Jalan yang kami lewati memang sudah tersedia, jadi kami tak memerlukan kompas. Hanya saja saat sudah hampir di atas, kami harus sangat hati-hati karena kanan-kiri jalan adalah jurang. Meskipun gelap, aku bisa melihatnya karena yang ada hanyalah kabut bukan lagi pepohonan.

Kurang lebih pukul 3.30, kami tiba di puncak pertama, kecil dan banyak semak-semak. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan ke puncak kedua dengan melewati lembah (turun lalu naik). Yap, belum sampai di atas kami buru-buru membangun dua tenda karena hujan mulai turun. Entah mengapa, aku merasa tidak ingin tidur karena memang tidak ada rasa kantuk. Kami bertiga—aku,Oci, dan Syadza—hanya berbaring, tiba-tiba terbangun dan jam sudah menunjukkan pukul 5.30. Rasa dingin yang aku rasakan setelah bangun jauh lebih menusuk dibandingkan saat pendakian. Benar-benar menggigil. Bahkan di dalam tenda pun aku masih enggan untuk bergerak, memeluk lutut untuk mengurangi luas permukaan tubuh yang terpapar dingin. Tapi, mau bagaimana lagi, aku harus sholat subuh. Kami wudhu seadanya dengan sisa persediaan air minum, itu pun masih di teras tenda. Kami sholat dengan posisi duduk karena kondisi tenda yang tidak memungkinkan untuk kami berdiri.

Aku pikir untuk apa berlama-lama di dalam tenda dan aku tidak ingin melewati kesempatan menikmati dinginnya puncak gunung. Aaaaah, udara dataran tinggi benar-benar aku rasakan di sini untuk pertama kalinya. Tak ingin menghabiskan waktu, aku, Oci, dan Harri buru-buru ke puncak kedua—puncak Prau tertinggi, 2565 mdpl. Kami bertiga berfoto ria. Akhirnya, satu persatu dari mereka yang berada di dalam tenda pun menyusul kami ke atas. Sebenarnya, aku cukup kecewa karena cuaca tak mengizinkanku melihat lautan awan dan matahari terbit. Kata guide kami, pak Bagus, yang menentukan keberhasilan seorang pendaki adalah bukan saat dia mencapai puncak, tapi saat timnya berhasil mencapai puncak bersama-sama, tak peduli seberapa lama perjalanan, yang penting adalah kekompakkan tim dan rasa saling peduli. Dan kami berhasil memperoleh itu dengan mulus hingga menginjakkan kaki di puncak tepat waktu saat seharusnya di mana matahari menampakkan dirinya. Dan ternyata saat berada di puncak kami  baru sadar bahwa tidak ada pendaki lain selain kami di hari itu.
Puncak kedua Prau, tiang itu biasa dipakai untuk mengibarkan bendera. Lihat, cuaca di atas ini memang sedang tidak bersahabat. Saat kamu berada di sana, kamu sedang berada di dalam awan.
Bersama pak Bagus (jaket biru), guide kami yang sangat berjasa




Pendakian pertama di ketinggian 2565 mdpl

Setelah puas berfoto, pak Bagus mengeluarkan perkakas masak sederhananya dan kami mengeluarkan mie instan. Pak Bagus ini handal sekali loh dalam membuat makanan khas anak gunung, biasanya kalau tidak mie instan, ya nasi yang dilumatkan menjadi bubur ditambah gula merah. Ya, pak Bagus ini adalah mantan pembina pramuka dan saat kejadian longsor di Karang Kobar, beliau menjadi salah satu tim relawan di bidang dapur umum. Adiknya—yang juga kakak kelas SMA Fahmi—juga seorang guide para pendaki pemula seperti kami.

Sekitar pukul 08.00, kami memutuskan untuk turun gunung. Kami tidak meninggalkan sampah bukan karena ini tempat wisata, tapi karena sudah sepatutnya seorang pendaki mencintai alam yang dijamahinya. Saat menuruni gunung, kami melalui jalur yang berbeda. Katanya sih, jalur ini baru dibuka dan pak Bagus pun belum pernah melewatinya. Tapi, kami tak perlu takut tersesat karena kami yakin naluri seorang guide pecinta alam yang sudah berpengalaman tak mungkin salah. Posisi penurunan gunung diubah, aku tak mau lagi berada di depan karena selalu diteriaki dari belakang, hahahaha. Jadi, sekarang posisi kedua setelah pak Bagus diisi oleh Syadza, lalu Mada, Oci, Fahmi, aku, dan dua orang dengan posisi yang tak berubah, Harri dan Dany. Enaknya turun gunung pagi-pagi dan ada di posisi belakang, bisa menikmati pemandangan, hahaha. Lucunya, setiap jalan licin dan curam Harri yang berada di belakangku selalu ingin ‘perosotan’. Bayangkan kalau dia ‘merosot’ tanpa ‘ngerem’, aku yang ada di depannya akan ikut terperosok. Kan serem. Oleh karena itu, aku selalu memintanya agar tidak ‘merosot’ dulu sampai aku berada di posisi yang agak jauh darinya. Kami tidak lagi khawatir melewati jalan yang kanan-kirinya adalah jurang karena keindahan alam yang super hijau mampu mengalihkan kekhawatiran itu, meskipun kaki terasa sakit karena harus menahan gaya tubuh saat turun. Saat hampir tiba di pedesaan, kami berjalan di antara sayuran-sayuran yang ditanam di terasering, sambil melihat penduduk yang tengah berkebun ditemani anaknya yang malah sibuk bermain sendiri. Terasa sekali tradisi Indonesia-nya, aku merasa seperti orang asing yang kembali ke motherland. Tidak jauh dari Dieng, tepatnya di Kali Bening-Banjarnegara sekitar 20 km dari Karang Kobar, memang merupakan kampung halaman bapakku dan terakhir kali aku ke sana saat kelas 6 SD.


Terasering tampak dari atas


Puncak gunung yang telah kami jamahi, tertutup awan
Bunga khas pegunungan yang aku temukan selama perjalanan pulang


Perjalanan turun gunung di pagi hari. Lihat, pemandangan di sekeliling kami dibaluti dnegan warna hijau khas pegunungan
Alhamdulillah, perjalanan kali ini sangat memberi banyak pelajaran, terutama pelajaran tentang pentingnya selalu merasa bersyukur dan tidak sombong dengan apa yang kita miliki. Karena saat kamu menjajaki kaki di atas puncak, akan banyak hal menakjubkan di mana kamu akan merasa tak lebih dari setitik debu dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Semakin banyak kamu menjelajahi dunia, semakin kamu merasa tak berdaya dengan kuasa Tuhan dan akan terucap selalu kata syukur dari mulutmu.

Memang tak sedikit rintangan yang harus kamu lalui saat mendaki. Terlebih lagi kamu harus bisa menahan egomu sendiri saat mendaki bersama tim. Jangan nafsu untuk cepat-cepat bisa sampai di puncak, tapi jangan juga terlalu banyak merepotkan teman. Artinya kamu harus benar-benar memersiapkan fisik dan mental. Aku? Sebenarnya tak banyak latihan fisik sebelum mendaki, bahkan H-2 pendakian aku baru olahraga lari keliling kampus UI. Memang tidak seberapa, tapi setidaknya itu melatih kaki ku agar tidak DOMS (Delayed Onset Muscle Soreness) saat diajak berpetualang di medan yang cukup sulit.

Ternyata bener yah kata orang, sekali kamu naik gunung, kamu akan merasa rindu dan ingin terus mencobanya lagi, meski dengan gunung yang sama atau bahkan dengan ketinggian yang lebih menantang. Suatu saat di musim kemarau, aku ingin sekali mendaki gunung Semeru, gunung Kelimutu atau gunung Lawu, gunung Merbabu juga boleh atau Rinjani mungkin? Dan ini tak boleh hanya menjadi angan, harus benar-benar terealisasi, mendaki gunung bersama orang yang paling dicintai sambil menikmati indahnya duduk berselimut bintang di tepi danau Ranu Kumbolo, merasakan hembusan angin di tengah padang savana, atau terbuai dengan kedamaian danau Segara Anak.

Aku memang pendaki pemula, tapi tak menutup kemungkinan first trip kali ini menjadi hobiku yang baru, itupun jika waktu dan finansial mengizinkanku untuk menikmati kembali penjelajahan mendaki  gunung-gunung indah di Indonesia. 

Buat kamu yang belum merasakan, cobalah! Masa mudamu tak akan sia-sia hanya karena mendaki gunung yang kata orang menyeramkan. Justru itulah, saat di mana kamu akan menemukan jati dirimu, berani dalam mengambil tindakan, dan tangguh untuk menaklukan egomu sendiri. Rasa sakit dan lelah akan terbayar dengan kepuasan batin mencapai puncak tertinggi. Karena mendaki gunung bukan hanya perjalanan fisik dan mental, tapi juga hati.

Monday 22 December 2014

Confession of a Daughter

Barang kali hari ini adalah momen yang tepat untukku mencurahkan rasa terima kasih kepada engkau, wanita yang tak kenal lelah merawatku hingga mampu ku tapaki kehidupan yang kini tengah ku jalani.
Barang kali pula beberapa orang--mungkin termasuk diriku--berpikir mengapa hanya di hari ini semua orang baru sibuk menyebarkan foto mereka bersama ibunya disertai kata-kata mutiara yang mereka ciptakan sendiri untuk mengucapkan rasa sayangnya?

Ah sudahlah, toh yang penting rasa sayang itu tidak berkobar hanya pada tanggal dua puluh dua. 

Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, "Seorang sahabat bertanya kepada Rosulullah SAW, 'Ya Rosul, kepada siapa aku harus berbakti pertama kali?' Rosulullah menjawab, 'Ibumu'. Orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian kepada siapa Ya Rosul?' Rosul kembali menjawab, 'Ibumu'. Dan orang itu bertanya lagi, 'Lalu kepada siapa lagi?' Untuk ketiga kalinya, Rosulullah SAW menjawab, 'Ibumu'. Pada pertanyaan keempat, baru kemudian Rosul menjawab berbeda, 'Ayahmu'." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ibu... Aku sudah lama mengetahui hadits yang menerangkan bahwa engkau adalah yang utama untuk aku patuhi. Bahkan dalam Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 83 pun disebutkan engkaulah yang harus aku taati setelah perintah untuk mengesakan Allah dan Rosul-Nya. Sungguh Allah SWT sangat memuliakanmu, memberikanmu kedudukan yang begitu berharga dihadapan-Nya.

Namun, ibu.... Anakmu ini telah banyak mengetahui tapi tak jarang aku lalai dengan perintah untuk menaatimu. Bahkan terkadang aku terlalu sibuk dengan duniaku, terlalu sibuk belajar, bermain bersama teman, berorganisasi, dan untuk sekedar menelepon pun aku tak sempat. Sedangkan, Ibu terus memikirkanku, menunggu kabar untuk sekedar tahu keadaanku. 

Ibu.... Anakmu ini sebenarnya mengerti arti celotehanmu itu adalah bentuk rasa khawatirmu kepadaku. Namun, aku sering menganggap itu adalah hal yang berlebihan dan tak perlu dicemaskan. Mendengarmu terus melontarkan nasihat yang sama, kadang membuatku gusar. Bahkan aku sempat berpikir, apa mungkin ibu tidak memercayaiku untuk tidak melakukan kesalahan yang sama hingga tak hentinya ibu menasihatiku hingga ku lelah mendengarnya?

Ibu.... Aku terkadang merasa terganggu dengan keinginanmu untuk mengetahui segala detail kegiatanku, bahkan dengan kehidupan pribadiku. Engkau mengatakan jika memang engkau harus tahu segalanya tentang diriku. Namun, sungguh aku masih malu untuk menceritakan segala hal pribadiku kepadamu.

Ibu.... Aku ini memang lemah, sedikit saja kau memarahiku, emosiku langsung memuncak. Namun, aku tak bisa mengekspresikan rasa marahku kepadamu, diam adalah senjataku. Tapi, dengan diamku ini malah membuatmu menjadi sakit hati. 

Tak sedikit yang ingin aku sampaikan kepadamu karena begitu lama aku hidup di bawah naungan kasih sayangmu. Maafkan aku ibu, yang sering menyalahartikan makna cintamu kepadaku. Engkau yang telah mengajarkanku hidup rumasa. Engkau menjelaskan mengapa kita perlu hidup secara prihatin dan tak usah neko-neko. Engkau menceritakan masa-masa sulitmu dulu untuk menjalani pendidikan. Hingga akhirnya engkau menjadi seorang Ibu cerdas yang mendidikku sampai aku mampu menempuh pendidikan dengan lancar tanpa hambatan.

Aku yang bukan lagi anak kecil, lambat laun mengerti akan arti celotehanmu yang kini telah ku anggap sebagai nasihat terbaik bagi masa depanku. 
Aku yang sudah banyak belajar, kini telah memahami arti keingintahuanmu yang ku anggap sebagai bentuk kepedulianmu terhadap setiap kegiatanku. 
Aku yang tengah tumbuh dewasa, kini mengerti bahwa sesungguhnya kau tak pernah marah kepadaku. Setiap ucapanmu adalah bentuk kewibawaanmu agar aku selalu terjaga dari segala hal yang dapat menjatuhkanku.

Hingga akhirnya aku mampu mengikuti segala nasihatmu, bahkan hingga kebiasaanmu. Tak heran, jikalau aku memiliki sifat yang mirip denganmu, Ibu. Aku bisa melihat sesuatu secara holistik, detail, dan hampir perfeksionis dalam mengerjakan sesuatu. Yah, sepertimu Bu. Aku bangga bisa mewariskan itu karena engkau adalah wanita terhebat di mataku.
Setiap doa yang kau tuturkan, setiap langkah yang kau ambil, dan setiap kata yang kau ucap adalah kasih sayang yang mengalir dalam darahku dan menjadi irama dalam setiap hembusan napasku.

Ibu.... Maafkan anakmu, yang seringkali hanya mendengar nasihatmu, namun tak kunjung aku lakukan. Maafkan anakmu, yang pernah membuatmu merasa tak dihormati dan tersakiti. Maafkan anakmu, yang belum bisa mewujudkan mimpi-mimpi untuk membuatmu bangga, yah bangga memiliki anak seperti diriku.

Ibu... Ibu harus tahu kalau aku sangat menyangimu karena Allah SWT. Ibu tahu kenapa? Karena Allah telah menitipkan sifat Ar-rahman dan Ar-rahim Nya kepada malaikat terbaik dalam hidupku, yaitu ibu. Yah, kepada ibu yang selama ini kusebut MAMA.

http://iqraa.com/MediaStorage/images/news%20images/Muslim-single-mum.jpg



Tuesday 25 November 2014

Lahir Kembali

Jadikan masa lalumu sebagai pelajaran agar ketika hal yang sama menghampirimu kembali, kau tak lagi terlena dan terbuai dengan kebahagiaan yang kau sadari hanya bersifat sementara. Kau tahu apa maksudku? 

Kalau kau paham, aku tahu kau pasti pernah merasakan sakitnya jatuh dan gagal. Tak sedikit perkara yang kau hadapi tanpa ada sisi gelap yang melingkupinya. Bahkan tak jarang kau pun hilang di antara kegelapan itu. Mungkin bisa saja kau kembali dengan membawa sisi buruk perkaramu, atau mungkin kau datang dengan membawa cahaya yang baru. Kau bebas untuk memilih pilihanmu sendiri.

Begitupun dengan kehidupan percintaan antara dua insan yang tengah berbunga-bunga merajut asmara. Lalu .... akhirnya. 
Patah hati! Hancur! 

Masa kelamnya kini telah membuatnya sadar bahwa dirinya terlalu berharga untuk kembali menjalin cinta yang salah. Masa di mana kau tahu tak seharusnya kau menjadi orang paling munafik sedunia. Tapi (kalau kata orang awam bilang), cinta mengalahkan segalanya. 

Dan jika kau berpikir irasional, bahwa cinta tak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali menganga. Seperti itulah yang dikatakan oleh seorang pujangga muda. Dan benar adanya. 

Kini kau kembali, membawa harapan dan cinta yang baru. Kau tak lagi peduli dengan apa yang telah merayapi kehidupanmu dulu. Sudahlah, kayu itu telah rapuh dan sulit bagimu untuk memperbaikinya. Kini tinggal kau pilih, jadikan kayu itu arang dengan membakarnya, maka kau akan dapat manfaatnya atau kau tetap menyimpannya hingga habis rayap menggerogotinya. 

Bukalah hatimu, namun tak perlu terlalu lebar karena aku takut kau kembali terlena. Kau sudah cukup dewasa untuk bisa melihat keikhlasan rasa. Maka, tak perlu terburu-buru untuk mengambil langkah karena citamu tak hanya berkutat pada satu cinta. Dan jika kau menemukan dia yang tulus dan rela memperjuangkamu, bukalah hatimu sebesar kau mencintainya. Sambutlah dia dengan senyuman hangat tanpa lagi meragu bahwa dialah akhir perjalanan cintamu.





Saturday 22 November 2014

How to Live with Autisms

http://www.examiner.com/images/blog/wysiwyg/image/child%2810%29.jpg
As a social-human, we live in surroundings interaction area and we do communication with every different people every day. However, some of them are not able to interact as well as humans usually do. They suffer from ‘Autism Spectrum Disorder’, a complex developmental disability. In fact, that they live together in our life and they certainly will not be able to live alone without other people helps even though they actually feel that they have their own world. The main social-human who nearly live together with them are parents, sibling, and teens in school life. In addition, those who live together with them need to find ways to face and handle their behaviors. 

                A child’s autism will affect every member of the family, especially parents. Parents must place their primary focus on helping their child’s autism, which may put stress on their marriage, other children, work, and finances. Parents also have to shift much of their resources of time and money to provide treatment for their child’s autism. However, parents can help their family by informing their children about autism, understanding the challenges siblings face and helping them cope. Finding time for prayer and attending a place of worship also helps many families handle the challenges of autism.

                Having a child with autism will place some extra demands on parents as individual and the family as a whole. The prime demand is the lack of enough time to share with all their other children. The majority of brother or sister of children with autism will face some difficulties when they try to play together with their brother or sister with autism and certainly most of them will experience these issues, such as:
  • Embarrassment around peers
  • Frustration over not being able to engage a response from their brother or    sister
  • Being the target of aggressive behavior
  • Trying to make up for the deficits of their brother or sister
  • Concern regarding their parents stress and grief
Those issues can be solved by parents to help their children understand about autism and to improve the interactions among the children in the family. Here are some suggestions which can be done by parents:
  •   Explaining autism to children
Do it early and do it often! It is important that children need to understand what is autism is all about and the given-information should appropriate for their developmental age. For instance, for early childhood, they just need explanation that help them understand, do not misled them by using word like “autism” as they will not know the full meaning of it.
  •  Helping children form a relationship with their brother or sister with autism
It is usually difficult for a young child to form a satisfying relationship with brother or sister who has disorders. For example, child’s attempts to play with his or her brother are probably rebuffed by his ignoring or end abruptly because his tantrums are frightening. The good news is that children can be taught simple to get their brother or sister in playful interaction. These skills include making sure they have their brother’s attention, giving simple instructions, and praising good play.
  •  Special times
It is important to remember that other children in a family need to be special. Families are often urged to separate time for the children in their family who do not have autism. It may be one evening a week, a Saturday morning, or a few minutes at bedtime each night.
On the other hand, teen with autism may have a problem to get along with other friends. They also have expressive communication challenges, which means they enable to express what they are thinking or feeling. Some may not talk at all, but may communicate using gesture, like using communication board to spell out the words. However, they actually still need friends to share and accompany them in school life. When you willing to be friend with someone with autism, you should accept their friend’s differences, protect them from things that bothering them, join them in activities that interest them, give them extra time to answer your question or complete an activity, and help other teens learn about and accept autism.

Children with autism may have problem with receptive communications. Although they understand what is being said to them, they may have difficulties figuring out how to respond. We and they are the same, but they just have some distinctions to communicate. In brief, do not ever assume just because they do not talk that they do not understand or are not smart because everyone has their own uniqueness.
  • References :
  1. Keating-Velasco, J.L. (2007). A is for autism, F is for friend: A kid’s book on making friends with a child who has autism. Shawnee Mission, Kan.: Autism Asperger Publishing Co.
  2.  Autism Society. Autism. Available from : http://www.autism-society.org. Accessed on November 30th 2012.


Hi viewers :)

This is my official blog. Hope you'll enjoy