Hari itu--Rabu, 7 Januari 2015--tepat pukul 00.30, kami
berkumpul membentuk lingkaran, menengadahkan tangan masing-masing untuk berdoa
demi kelancaran pendakian kami. Bagiku ini adalah kesempatan emas yang sayang
untuk dilewatkan karena ini adalah kali pertama aku mendaki gunung. Ya, gunung
Prau, salah satu gunung dari rangkaian pegunungan Dieng, Wonosobo-Banjarnegara.
Memang bukan termasuk gunung yang besar karena kalau kamu cari peta pun, tidak
akan kamu temukan.
Perjalanan yang kami tempuh kuang lebih satu jam dari tempat penginapan menuju jalur masuk Prau. Kami telah
menentukan jalur masuk yang kedua, yaitu dari wilayah Dieng karena jalur masuk
yang pertama, di Patak Banteng, telah ditutup baru-baru ini sejak awal bulan
Januari. Di jalur tersebut sedang diadakan pembersihan sampah dan reboisasi (hmm, inilah kondisi
tempat wisata Indonesia, jangankan Wulandira, gunung yang asri aja masih ada
sampah, hahahahaha). Sepanjang perjalanan, aku benar-benar hanya membuka handphone dan membaca surat-surat dengan
cahaya hp yang memancar jelas tepat di wajahku karena memang hanya aku yang
menyalakan handphone tanpa penerangan
lampu dalam mobil. Entah mengapa, hari itu aku merasa sangat pasrah dengan
segala takdir-Nya, yang terpikir hanya tentang apakah aku masih bisa kembali
dalam keadaan utuh atau sama sekali tidak. Tuhan yang tentukan.
Kami terdiri atas empat
laki-laki, empat perempuan, dan seorang guide
profesional bernama pak Bagus (kalau tidak salah, aku agak sulit mengingat
nama orang dalam sekali pertemuan, maaf ya Pak). Salah satu dari kami, Aulia, memiliki
asma. Kondisinya akan kambuh jika dipicu oleh kelelahan dan cuaca
ekstrim. Aku sangat khawatir dengannya, sudah berulang kali aku
tanya tentang keputusan mendaki gunung, tapi dia selalu berusaha untuk meyakinkan kami
semua bahwa dia bisa. Nah, sebelum memulai pendakian, kami terlebih dahulu mengatur posisi.
Pastinya pak Bagus berada di depan, lalu Aulia, aku, Mada (dia juga sebenarnya
punya asma), Syadza, Fahmi, Oci, Harri, dan Dany. Kata pak Bagus, orang yang
berada di belakang haruslah orang yang paling kuat, terbukti selama
perjalanan naik-turun gunung, Harri mampu membawa carrier dadakan dari pak Bagus yang isinya, tenda, sleeping bag,
matras, ditambah peralatan pribadi milik dirinya.
Bismillahirrohmanirrohim, kata
pertama kali yang kami ucapkan untuk pendakian hari itu. Kami baru berada di
pedesaan dan harus menanjaki jalan beraspal yang cukup curam. Dalam hitungan
menit, aku sudah mendengar hembusan napas yang cukup kuat dari arah depan.
Aulia tersengal-sengal, namun masih bisa berjalan, hingga aku berjalan
disampingnya. Tak lama kemudian, kami menghentikan sejenak perjalanan kami
untuk mengambil keputusan yang menurutku cukup sulit bagi Aulia, antara tetap
meneruskan pendakian dengan banyak istirahat beberapa meter, mengalihkan
pendakian menuju bukit Sikunir yang tidak lebih tinggi dari gunung Prau, atau
sama sekali tidak ikut. Kebanyakan dari kami memang menginginkan puncak Prau,
meskipun tak masalah jika harus diganti dengan Sikunir, toh tingginya pun hanya
berbeda ratusan meter dari Prau. Namun, keputusan sekarang ada di tangan Aulia.
Akhirnya, dengan penuh pertimbangan dia memutuskan untuk tidak ikut bersama
kami mendaki gunung Prau. Tak muncul kekecewaan dari raut wajahnya, mungkin
rasa kecewa itu telah kalah dengan rasa cemas dan takut akan recurrency penyakit asmanya.
Selamat jalan Aul, kami di sini
mewakilimu untuk menyampaikan salammu kepada langit di atas gunung.
Perjalanan yang sebenarnya pun
dimulai. Kami bisa melihat puncak Prau dalam kegelapan langit malam tanpa
bintang dari pematang sawah. Ya, sawah adalah lintasan alam pertama kami
sebelum akhirnya kami memasuki hutan. Benar-benar sepi yang terdengar hanya
sayup-sayup angin yang berhembus di antara dedaunan. Kami harus melewati empat
pos selama pendakian. Di pos pertama, kami beristirahat, minum persediaan air
dan menyelonjorkan kaki sejenak. Perjalanan menanjaki gunung pun dilanjutkan. Hampir
setiap dari kami menyalakan senternya masing-masing, hanya Mada yang bergantung
pada cahaya orang yang berjalan di depannya, aku. Terkadang dia minta untuk
diberikan penerangan saat melewati jalan yang cukup terjal, huft. Bahkan, dia
masih sempat mendengarkan lagu korea melalui headset-nya, barangkali itu cara untuk mengalihkan rasa lelahnya
agar asmanya tidak kambuh. Syadza, berkali-kali meminta istirahat sebelum kami
tiba di pos berikutnya. Fahmi, satu-satunya orang yang telah berkali-kali
mendaki gunung, hanya bergeming. Bahkan saat istirahat pun, dia masih sempat tidur, tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya selama
pendakian. Oci, yang selalu berteriak agar orang yang didepannya tidak berjalan
terlalu cepat. Harri, ya dia yang membawa carrier,
aku hampir tak bisa mendengarnya karena kami sama-sama hampir berada di ujung
barisan. Dany, dengar-dengar katanya selama pendakian dia selalu buang angin
(kata Harri), hahaha. Untungnya, dia berada paling belakang, jadi siapa pula
yang peduli. Aku sendiri berada di posisi kedua, di belakang pak Bagus yang
seharusnya adalah posisi Aulia. Di setiap langkah pertama setelah istirahat,
pak Bagus selalu mengucapkan kata Basmallah dan berdzikir selama pendakian.
|
Di tengah perjalanan, kami sempat istirahat dan berfoto :) |
|
Masih di tengah perjalanan, Harri mengambil foto kami dengan pencahayaan dari senternya |
Jalan yang kami lewati memang
sudah tersedia, jadi kami tak memerlukan kompas. Hanya saja saat sudah hampir
di atas, kami harus sangat hati-hati karena kanan-kiri jalan adalah jurang. Meskipun
gelap, aku bisa melihatnya karena yang ada hanyalah kabut bukan lagi pepohonan.
Kurang lebih pukul 3.30, kami
tiba di puncak pertama, kecil dan banyak semak-semak. Akhirnya, kami melanjutkan
perjalanan ke puncak kedua dengan melewati lembah (turun lalu naik). Yap, belum
sampai di atas kami buru-buru membangun dua tenda karena hujan mulai turun. Entah
mengapa, aku merasa tidak ingin tidur karena memang tidak ada rasa kantuk. Kami
bertiga—aku,Oci, dan Syadza—hanya berbaring, tiba-tiba terbangun dan jam sudah
menunjukkan pukul 5.30. Rasa dingin yang aku rasakan setelah bangun jauh lebih
menusuk dibandingkan saat pendakian. Benar-benar menggigil. Bahkan di dalam
tenda pun aku masih enggan untuk bergerak, memeluk lutut untuk mengurangi luas
permukaan tubuh yang terpapar dingin. Tapi, mau bagaimana lagi, aku harus
sholat subuh. Kami wudhu seadanya dengan sisa persediaan air minum, itu pun
masih di teras tenda. Kami sholat dengan posisi duduk karena kondisi tenda yang
tidak memungkinkan untuk kami berdiri.
Aku pikir untuk apa berlama-lama
di dalam tenda dan aku tidak ingin melewati kesempatan menikmati dinginnya
puncak gunung. Aaaaah, udara dataran tinggi benar-benar aku rasakan di sini
untuk pertama kalinya. Tak ingin menghabiskan waktu, aku, Oci, dan Harri
buru-buru ke puncak kedua—puncak Prau tertinggi, 2565 mdpl. Kami bertiga
berfoto ria. Akhirnya, satu persatu dari mereka yang berada di dalam tenda pun
menyusul kami ke atas. Sebenarnya, aku cukup kecewa karena cuaca tak
mengizinkanku melihat lautan awan dan matahari terbit. Kata guide kami, pak Bagus, yang menentukan
keberhasilan seorang pendaki adalah bukan saat dia mencapai puncak, tapi saat
timnya berhasil mencapai puncak bersama-sama, tak peduli seberapa lama
perjalanan, yang penting adalah kekompakkan tim dan rasa saling peduli. Dan kami
berhasil memperoleh itu dengan mulus hingga menginjakkan kaki di puncak tepat
waktu saat seharusnya di mana matahari menampakkan dirinya. Dan ternyata saat berada di puncak kami baru sadar bahwa tidak ada
pendaki lain selain kami di hari itu.
|
Puncak kedua Prau, tiang itu biasa dipakai untuk mengibarkan bendera. Lihat, cuaca di atas ini memang sedang tidak bersahabat. Saat kamu berada di sana, kamu sedang berada di dalam awan. |
|
Bersama pak Bagus (jaket biru), guide kami yang sangat berjasa |
|
Pendakian pertama di ketinggian 2565 mdpl |
Setelah puas berfoto, pak Bagus
mengeluarkan perkakas masak sederhananya dan kami mengeluarkan mie instan. Pak Bagus
ini handal sekali loh dalam membuat makanan khas anak gunung, biasanya kalau
tidak mie instan, ya nasi yang dilumatkan menjadi bubur ditambah gula merah. Ya,
pak Bagus ini adalah mantan pembina pramuka dan saat kejadian longsor di Karang
Kobar, beliau menjadi salah satu tim relawan di bidang dapur umum. Adiknya—yang
juga kakak kelas SMA Fahmi—juga seorang guide
para pendaki pemula seperti kami.
Sekitar pukul 08.00, kami
memutuskan untuk turun gunung. Kami tidak meninggalkan sampah bukan karena ini
tempat wisata, tapi karena sudah sepatutnya seorang pendaki mencintai alam yang
dijamahinya. Saat menuruni gunung, kami melalui jalur yang berbeda. Katanya sih,
jalur ini baru dibuka dan pak Bagus pun belum pernah melewatinya. Tapi, kami
tak perlu takut tersesat karena kami yakin naluri seorang guide pecinta alam yang sudah berpengalaman tak mungkin salah. Posisi
penurunan gunung diubah, aku tak mau lagi berada di depan karena selalu
diteriaki dari belakang, hahahaha. Jadi, sekarang posisi kedua setelah pak
Bagus diisi oleh Syadza, lalu Mada, Oci, Fahmi, aku, dan dua orang dengan
posisi yang tak berubah, Harri dan Dany. Enaknya turun gunung pagi-pagi dan ada
di posisi belakang, bisa menikmati pemandangan, hahaha. Lucunya, setiap jalan licin dan
curam Harri yang berada di belakangku selalu ingin ‘perosotan’. Bayangkan kalau
dia ‘merosot’ tanpa ‘ngerem’, aku yang ada di depannya akan ikut terperosok. Kan
serem. Oleh karena itu, aku selalu memintanya agar tidak ‘merosot’ dulu sampai
aku berada di posisi yang agak jauh darinya. Kami tidak lagi khawatir melewati
jalan yang kanan-kirinya adalah jurang karena keindahan alam yang super hijau
mampu mengalihkan kekhawatiran itu, meskipun kaki terasa sakit karena harus menahan
gaya tubuh saat turun. Saat hampir tiba di pedesaan, kami berjalan di antara
sayuran-sayuran yang ditanam di terasering, sambil melihat penduduk yang tengah
berkebun ditemani anaknya yang malah sibuk bermain sendiri. Terasa sekali
tradisi Indonesia-nya, aku merasa seperti orang asing yang kembali ke motherland. Tidak jauh dari Dieng,
tepatnya di Kali Bening-Banjarnegara sekitar 20 km dari Karang Kobar, memang merupakan
kampung halaman bapakku dan terakhir kali aku ke sana saat kelas 6 SD.
|
Terasering tampak dari atas |
|
Puncak gunung yang telah kami jamahi, tertutup awan |
|
Bunga khas pegunungan yang aku temukan selama perjalanan pulang |
|
Perjalanan turun gunung di pagi hari. Lihat, pemandangan di sekeliling kami dibaluti dnegan warna hijau khas pegunungan |
Alhamdulillah, perjalanan kali ini
sangat memberi banyak pelajaran, terutama pelajaran tentang pentingnya selalu
merasa bersyukur dan tidak sombong dengan apa yang kita miliki. Karena saat kamu
menjajaki kaki di atas puncak, akan banyak hal menakjubkan di mana kamu
akan merasa tak lebih dari setitik debu dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Semakin banyak
kamu menjelajahi dunia, semakin kamu merasa tak berdaya dengan kuasa Tuhan dan
akan terucap selalu kata syukur dari mulutmu.
Memang tak sedikit rintangan yang
harus kamu lalui saat mendaki. Terlebih lagi kamu harus bisa menahan egomu
sendiri saat mendaki bersama tim. Jangan nafsu untuk cepat-cepat bisa sampai di
puncak, tapi jangan juga terlalu banyak merepotkan teman. Artinya kamu harus
benar-benar memersiapkan fisik dan mental. Aku? Sebenarnya tak banyak latihan
fisik sebelum mendaki, bahkan H-2 pendakian aku baru olahraga lari keliling kampus UI. Memang
tidak seberapa, tapi setidaknya itu melatih kaki ku agar tidak DOMS (Delayed Onset Muscle Soreness) saat diajak berpetualang di medan yang cukup sulit.
Ternyata bener yah kata orang,
sekali kamu naik gunung, kamu akan merasa rindu dan ingin terus mencobanya lagi, meski
dengan gunung yang sama atau bahkan dengan ketinggian yang lebih menantang. Suatu
saat di musim kemarau, aku ingin sekali mendaki gunung Semeru, gunung Kelimutu
atau gunung Lawu, gunung Merbabu juga boleh atau Rinjani mungkin? Dan ini tak
boleh hanya menjadi angan, harus benar-benar terealisasi, mendaki gunung bersama
orang yang paling dicintai sambil menikmati indahnya duduk berselimut bintang di
tepi danau Ranu Kumbolo, merasakan hembusan angin di tengah padang savana, atau
terbuai dengan kedamaian danau Segara Anak.
Aku memang pendaki pemula, tapi
tak menutup kemungkinan first trip
kali ini menjadi hobiku yang baru, itupun jika waktu dan finansial
mengizinkanku untuk menikmati kembali penjelajahan mendaki gunung-gunung indah di Indonesia.
Buat kamu yang belum merasakan,
cobalah! Masa mudamu tak akan sia-sia hanya karena mendaki gunung yang kata
orang menyeramkan. Justru itulah, saat di mana kamu akan menemukan jati dirimu,
berani dalam mengambil tindakan, dan tangguh untuk menaklukan egomu sendiri. Rasa sakit dan lelah akan terbayar dengan kepuasan batin mencapai puncak tertinggi. Karena mendaki gunung bukan hanya perjalanan fisik dan mental, tapi juga hati.